Wilayah pariwisata Sanur yang kosong tanpa wisatawan
Rencana pembukaan wisata mancanegara pada 11 September 2020 di Bali bagaikan simalakama. Pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di Bali merangkak naik dengan rata-rata penambahan kasus positif di atas 50 orang perharinya. Di sisi lain, pada triwulan-II 2020, ekonomi Bali merosot hingga minus 10,98% (BPS, 2020).
Pembatasan aktivitas dan ancaman virus menjadi hal yang sama bahayanya bagi mereka yang mengais uang dari mobilisasi massa, layaknya pariwisata. Laju perekonomian masyarakat Bali yang sangat bergantung pada sektor pariwisata, terbukti turun drastis selama masa pandemi. Beberapa objek wisata, hotel, dan restoran yang biasanya padat wisatawan, terpaksa menelan kerugian yang cukup besar. Pengakuan I Ketut Rupa (52) selaku tour guide menyatakan bahwa dunia pariwisata di Bali seakan mati suri. “Turis saja tidak ada, bagaimana bisa jalan,” ujarnya pasrah. Rupa yang biasanya melakukan perjalanan tiga kali seminggu ini, sudah tidak mendapatkan pemasukan selama tiga bulan. Dikutip dari laman berita CNN Indonesia, sebanyak Rp138,6 triliun pariwisata Bali merugi.
Penuturan Rupa membuktikan; roda perekonomian harus tetap berputar. Pemulihan pariwisata di Bali terjerembap dualisme antara aspek kesehatan dan ekonomi yang diupayakan berdamai dalam bingkai normal baru (new normal). “Kehidupan new normal ini akan menormalkan yang tidak normal, seperti harus menggunakan masker serta mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditetapkan.” Ujar I Ketut Yadnya Winarta S.S., M.Par. selaku Kepala Seksi Informasi Pariwisata (04/06) yang bernaung di Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi Bali.
Wacana normal baru ini membuat masyarakat Bali maupun wisatawan domestik berlomba-lomba memenuhi tempat wisata. Kondisi tersebut dianggap wajar oleh staf pengajar Ilmu Kesehatan Masyarakat, I Made Kerta Duana, SKM., MPH. “Ini kan karena kejenuhan selama tiga bulan, kita terkungkung tanpa kepastian kapan berakhir pandemi ini,” sahut Kerta (17/06) saat dihubungi melalui saluran WhatsApp. Meskipun demikian, Kerta menegaskan masyarakat tak boleh terlena, mematuhi protokol kesehatan adalah keutamaan yang dibarengi dengan kebijakan kuat dari pihak pemerintah. Terpenting dari semua itu adalah kesadaran dari setiap masyarakat bahwa normal baru bukanlah normal yang sama seperti dahulu. Berjalan dengan normal baru artinya masih dihantui bayang-bayang virus Covid-19 yang sewaktu-waktu bisa menjadi bom waktu dan meledaknya kasus penularan virus ini.
Benar saja, selepas normal baru diterapkan, kasus positif Covid-19 kian meningkat dan ini turut terjadi pada Provinsi Bali. Kerta pun menjelaskan dalam menjalani hidup dalam bingkai normal baru setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi, “Kita akan siap menuju new normal atau melepaskan kebiasaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar-red) atau PKM (Pembatasan Kegiatan Masyarakat-red) ada tiga syarat.” Ketiga syarat itu, pertama adalah penurunan kasus, yang mana kurva kasus menujukkan tidak adanya peningkatan lagi serta angka kasus kematian mengalami penurunan. Syarat kedua, harus siap skrining (pemeriksaan kesehatan untuk mengetahui apakah seseorang berisiko lebih tinggi mengalami suatu masalah kesehatan –red). Syarat terakhir yaitu pelayanan kesehatan yang terindikasi mampu melakukan upaya pengobatan dan pencegahan.
Dua dari tiga syarat yang dijelaskan oleh Kerta ternyata sedang dimantapkan pula oleh Yadnya beserta staf Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Sebelum berhasil memasuki Pulau Dewata, beberapa syarat harus dipenuhi oleh wisatawan, yakni dengan memperlihatkan surat hasil tes swab serta surat keterangan sehat. Dengan dihujani berbagai syarat, wisatawan justru akan merasa lebih aman pasalnya tak sembarang wisatawan bisa lolos dari pengecekan yang cukup ketat. Wisatawan yang hendak berkunjung ke objek wisata pun tidak perlu ragu. Kelengkapan fasilitas seperti tempat cuci tangan dan hand sanitizer terus-menerus disiapkan.
Pandemi ini seakan menjadi kesempatan dalam membenahi objek wisata seperti sanitasi, taman yang kurang terawat, serta pembenahan fasilitas kesehatan. Persiapan ini layaknya lonceng pembuka dalam menyambut nuansa pariwisata yang baru serta wisatawan yang lebih berkualitas. Meskipun jumlah wisatawan yang datang tak sebanyak seperti semula, namun Kerta yakin dengan adanya keamanan yang ketat akan mendatangkan wisatawan yang berkualitas. “Berkurang secara kuantitas tetapi meningkat secara kualitas,” sahut Kerta yakin.
Bercermin pada kurva yang masih berfluktuasi naik turun, Yadnya menyarankan persiapan diri serta lingkungan dengan protokol kesehatan menjadi prioritas sembari menunggu kurva kasus menurun. Hal ini agar ekonomi dan kesehatan tidak berada dalam persimpangan, melainkan dapat saling berdampingan.
Penulis : Dela Pradnyani
Penyunting : Nanik, Yuko