Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda : “Be yourself, don’t be other”

 Siapa yang tidak mengenal sosok dari Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda? Beliau merupakan sosok yang sering muncul di televisi mengisi acara di pagi hari setelah Tri Sandhya memberikan Dharma Wacana. Beliau lahir di Denpasar, 5 Mei 1966 dan saat ini tinggal di Griya Mumbul Sari, Perumahan Serongga Permai Blok B 33/34 Gianyar. Tidak hanya di televisi, sosok beliau juga ada di media sosial dan bahkan dharma wacana beliau juga dipublikasikan di Tribun Bali News. Beliau menginspirasi banyak orang melalui dharma wacananya, tetapi siapa sangka bahwa beliau memiliki masa-masa kecil yang sedikit berbeda dari kebanyakan anak pada umumnya. Beliau dapat menjadi seperti saat ini karena apa yang telah beliau lalui. Mungkin kutipan yang paling pantas untuk mendefinisikan hal tersebut adalah “Pengalaman adalah guru terbaik”.
 Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda memiliki masa kecil yang sedikit berbeda dari anak yang lainnya, mungkin bisa dikatakan bukan masa kecil yang bahagia. Ini dikarenakan masa kecil beliau berada pada akhir tahun 1960-an dimana pada tahun tersebut yakni pada tahun 1965 adalah peristiwa G30S/PKI berlangsung. Pada saat masa-masa tersebut baik terlibat maupun tidak terlibat, ayah dari Ida Pandita dibunuh dalam peristiwa G30S/PKI tanpa adanya proses pengadilan. Karena kejadian tersebut beliau menjadi anak yatim dan harus terus berusaha dalam menjalani hari. Untuk berkeluh kesah pun beliau merasa tidak memiliki tempat dan terus harus berjuang dalam hidup daripada mengeluh dan berputus asa. Beliau mengatakan bahwa, “Kesulitan merangsang adrenalin”. Hal inilah yang membuat beliau tidak merasa berputus asa dengan apa yang telah beliau lalui.
 Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda, bahkan sudah bekerja sebelum masuk sekolah dasar. Beliau bekerja demi meringankan kondisi ekonomi keluarga. Kemudian saat beliau berusia sekitar 8 tahun, beliau baru memasuki sekolah dasar yang dimana seharusnya beliau sudah kelas 4 SD. Tidak berhenti sampai disini, bahkan saat sekolah pun beliau tetap bekerja. Beliau tetap bekerja sambil bersekolah yang tidak lain dan tidak bukan untuk meringankan kondisi ekonomi keluarga. Beliau juga mengatakan, “Kadang ada rasa ingin mengubah diri, tetapi tidak merasa menyesal dengan keadaan yang ada. Keinginan dan cita-cita jadi selalu terbatas karena masalah keuangan”. Tetapi meski begitu, sejak SD sampai SMA beliau tetap mendapat predikat sebagai siswa teladan dengan nilai terbaik. Beliau juga mendapat beasiswa supersemar saat kuliah dan berkerja mengajar di SMA Swasta saat berada di semester 6.
 Dibalik kesibukan beliau bekerja sambil mengenyam pendidikan, beliau juga mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi sejak SMP hingga kuliah. Adapun organisasi yang pernah beliau ikuti diantaranya adalah sebagai pengurus Osis dari sekolah menengah pertama hingga menengah atas, Ketua STT Sesetan, Ketua Pemuda Pancasila Denpasar Selatan, beliau juga mengikuti Parisadha, Wakil Ketua Prajaniti di Sulawesi, Sabha Walaka dan beliau juga menjadi Wakil Ketua Dharma Adyaksa dan organisasi lainnya. Riwayat pendidikan beliau yakni, SDN 12 Denpasar, SMP 5 Denpasar, SMA 2 Denpasar, dan pendidikan S1, S2, S3 di IHDN.
 Walaupun memiliki keterbatasan dalam segi materi dulunya, beliau tetap berusaha menjalani kehidupan. Hidup dalam keterbatasan membuat beliau bisa lebih kuat dan bertahan dalam menggapai cita-cita. Semua hal yang beliau dapatkan sekarang tak lepas dari segala usaha yang ia lakukan semasa muda, mengikuti banyak organisasi dan melakukan pelayanan umat bahkan hingga mengesampingkan kehidupan pribadinya. Kita sebagai mahasiswa haruslah bisa mengambil hal penting dari beliau, jangan masalah membuat kita menyerah dan putus asa sebaliknya buatlah masalah tersebut menjadi pemacu kita untuk bangkit dan bertahan dalam mengarungi kerasnya kehidupan. Adapun pesan dari beliau untuk kita sebagai mahasiswa yakni sebagai mahasiswa kita seharusnya mampu mengeksplor diri dan mengembangkan diri meskipun berada di zaman millenial yang serba instan. Jadilah Agent of Change bagi diri sendiri karena tidak mungkin orang lain yang mengubah diri sendiri terkecuali dibangun dari kesadaran sendiri karena sebenarnya setiap orang memiliki potensi yang sama tetapi bagaimana kita mampu mengembangkan potensi tersebut. Be yourself, don’t be other. Dimanapun emas diletakan, jika memang emas tetaplah emas. Semua kembali lagi pada diri kita sendiri.
Sumber: Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda
(red: Advokasi FPMHD-Unud 2018)