(Tulisan ini pernah dimuat dalam laporan pertanggungjawaban pengurus FKPA Bali tahun 2019)
Temu cinta alam se-Bali ke-26 yang diadakan oleh Forum Komunikasi Pecinta Alam (FKPA) Bali pada tahun 2019 lalu di Taman Nasional Bali Barat memunculkan beberapa isu. Selain isu-isu mengenai eksplotasi dan kerusakan lingkungan ada satu isu yang cukup krusial untuk diperdebatkan. Isu tersebut dinyatakan dalam kalimat interogatif sebagai berikut : “Kenapa BKSDA mempersulit perizinan untuk pecinta alam (PA) mengadakan kegiatan di cagar alam ?” Isu ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan beberapa organisasi pecinta alam yang merasa izin berkegiatannya di kawasan cagar alam dipersulit oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Respon dari beberapa organisasi pecinta alam ini menjadi krusial untuk dibahas dan dicari akar permasalahannya agar tidak menimbulkan konflik yang mungkin akan memanjang di
antara para penggiat alam dalam hal ini oganisasi pecinta alam dan pengelola kawasan atau BKSDA. Padahal organisasi pecinta alam dan BKSDA mempunyai satu visi yaitu kelestarian alam dan sudah seharusnya bersinergi untuk mendukung kelestarian alam. 

Cagar Alam menurut Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pasal 1 ayat 10 adalah : kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Cagar alam merupakan bagian dari kawasan suaka alam yang dalam pasal 15 dijelasakan sebagai kawasan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Dua pasal ini secara jelas menjelaskan alasan ditetapkannya sebuah kawasan sebagai kawasan cagar alam dan fungsi dari kawasan cagar alam itu sendiri. Sebuah kawasan pada dasarnya bisa ditetapkan sebagai kawasan cagar alam karena keadaan alam di kawasan itu memiliki kekhasan tumbuhan, satwa dan ekositemnya. Karena kekhasan itulah kawasan ini perlu dilindungi sehigga kekhasannya bisa awet dan menjadi penyangga sistem kehidupan. Pulau Bali sendiri memiliki satu kawasan cagar alam yaitu Cagar Alam Batukahu yang meliputi kawasan Gunung Lesung, Gunung Tapak dan Gunung Pohen.

Dua pasal ini menggambarkan tentang kawasan cagar alam dan peruntukkannya, tetapi mungkin belum cukup untuk menjawab pertanyaan mengapa BKSDA mempersulit perizinan berkegiatan di cagar alam. Mari mengkaji lebih lanjut. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 pada pasal-pasal selanjutnya kemudian menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut :  
Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya (Pasal 17 Ayat 1)  Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 Ayat 1) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli (Pasal 19 Ayat 3) Jika pasal 1 dan 15 menekankan alasan dan fungsi penetapan sebuah kawasan sebagai kawasan cagar alam, pasal 17 dan 19 menekankan kepada apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di kawasan cagar alam. Pelanggaran terhadap pasal 19 bisa berujung pada pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sesuai pasal 40 ayat 1. Cagar alam memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan kawasan suaka alam yang lain yaitu suaka margastwa. Suaka margasatwa sesuai dengan pasal 17 ayat 2 memperbolehkan kegiatan wisata terbatas sebagai bagian dari pemanfaatan wilayahnya sedangkan cagar alam tidak menyebutkan adanya pemanfaatan untuk kegiatan wisata terbatas dan semacamnya yang berarti kegiatan semacam itu dilarang untuk dilakukan di kawasan cagar alam. Pepep DW (2020) dalam bukunya yang berjudul Sadar Kawasan mengistilahkan keistimewaan cagar alam sebagai sebuah kesakralan. Kesakralan yang dimiliki cagar alam memunculkan beberapa agadium yang populer seperti berikut : 
“jangankan menebang pohon, jika saja ada ranting kering jatuh di dalam kawasan cagar alam, tidak seorang pun diperkenankanmemindahkannya, apalagi memungutnya keluar dari kawasan”
“jika kebetulan memasuki kawasan cagar alam untuk penelitian, kebetulan di dalam kawasan tersebut seseorang digigit nyamuk. Karena berada di dalam kawasan cagar alam, bahkan nyamuk yang menggigit haram untuk diganggu”

Menjawab isu mengenai izin berkegiatan organisasi pecinta alam yang dipersulit oleh BKSDA kemudian membawa kita kepada sebuah pertanyaan baru yaitu apakah kegiatan yang dimintai izin boleh dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ? dan apakah BKSDA sebagai pihak pengelola mempersulit izin yang diajukan ? Pertanyaan ini tentunya juga menjadi refleksi dan cerminan dari organisasi pecinta alam yang merasa dipersulit. Kegiatan seperti apakah yang akan diadakan, jika kegiatan yang akan diadakan adalah sekedar camping ceria atau pelatihan tentunya tifak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berbeda jika kegiatan yang dilakukan adalah penelitian,atau kegiatan lainnya yang menunjang budidaya tentu akan mendapat  respon yang baik dari BKSDA. Lalu apakah BKSDA mempersulit ? Tentunya pengajuan izin mengharuskan penyertaan proposal kegiatan dan kesesuaian kegiatan dengan peruntukkan kawasan, jika tidak sesuai tentunya tidak akan diberikan izin, dalam hal ini bukan mempersulit, tetapi mengantisipasi ancaman pidana yang ada pada pasal 40. Kita semua yang menyebut diri pecinta alam tentunya dengan kesadaran penuh menginginkan kelestarian alam. Eksploitasi terhadap alam yang marak dilakukan menjadikan kawasan konservasi seperti suaka margasatwa atau cagar alam sebagai benteng terakhir pelestarian flora, fauna beserta ekosistemnya. Lantas, apakah kawasan konservasi yang menjadi
benteng terakhir patut kita eksplorasi ? Berkegiatan di cagar alam tentu dibolehkan, tetapi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kita tentunya tidak ingin bencana banjir bandang di Sentani, Papua yang disebabkan oleh eksploitasi di Cagar Alam Cycloop terjadi di Bali akibat rusaknya cagar alam atau kawasan konservasi lain.    

Pada akhirnya, cagar alam harus menjadi titik tolak setiap usaha mengehentikan kerusakan alam, cagar alam adalah kunci supremasi sehingga kawasan lain bisa dengan kuat dihentikan proses kerusakannya. Salah satu cara untuk memulai semua itu adalah dengan diawali dari usaha terus menerus membicarakan dan mewacanakan cagar alam yang telah jauh terasing dari kesadaran pengetahuan masyarakat terhadap kawasan. Diharapkan dengan diwacanakannya cagar alam yang dimulai di kalangan penggiat alam, kemudian akan diikuti selanjutnya oleh masyarakat secara umum, dengan begitu usaha penyelamatan tidak lagi menjadi usaha atau gerakan komunitas,sektoral, dan terbatas di instansi tertentu, melainkan menjadi usaha dan gerakan bersama  (Pepep DW)Referensi
UU No.5 tahun 1990 tentang KSDHAE
DW, Pepep.2020.Sadar Kawasan.https://sadarkawasan.blogspot.com/ 
https://www.google.com/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/banjir-sentani-akibat-hutan-cycloopdirusak-tanpa-ditindak/4839050.htm