Bulan September, menuju akhir tahun yang belum sempurna pada 2017. Gunung Agung menyemburkan awan hitam pekat yang membumbung tinggi untuk pertama kalinya. Status dinaikkan menjadi level IV (awas). Warga desa panik. Beruntunglah, sistem komunikasi telah terbentuk sebagai upaya mitigasi. Kentongan berbunyi, juga komunikasi digital terus diupayakan relawan dan pemerintah untuk meredam kepanikan. 



Erupsi – Kondisi Gunung Agung pada tahun 2017 tengah memuntahkan abu disertai pasir halus.

Piek Van Bali atau Piek of Bali, sebutan bagi ancala tertinggi di pulau dewata yang tidak lain ialah Gunung Agung. September 2017 akhirnya menjadi momentum Gunung Agung terbangun dari tidurnya selama kurun waktu 54 tahun setelah memuntahkan pasir disertai abu yang menyelimuti cerahnya langit Karangasem pada saat itu. I Wayan Suryana Arimbawa, selaku relawan Mitigasi Agung membagikan kisah kondisi Gunung Agung sebelum mengalami erupsi. Juni 2017 statusnya dinaikkan ke tingkat dua atau waspada disusul beberapa gempa kecil.

Kemudian, status tersebut kembali naik ke tingkat siaga hingga akhirnya September 2017, kondisi ancala tertinggi pulau dewata itu mencapai tingkat awas. Warga yang bermukim di radius 2-3 km disarankan mengungsi ke tempat aman. Kekhawatiran memuncak saat radius 10-12 km dari Gunung Agung dikategorikan zona merah dengan himbauan menjauhi wilayah sekitar gunung. Warga pun dilema serta dilanda kepanikan lantaran mereka harus mengutamakan keselamatan diri dengan meninggalkan harta, benda, ternak serta lahan pertanian mereka yang kapan saja diterjang letusan Gunung Agung.




Relawan - I Wayan Suryana Arimbawa, relawan Mitigasi Agung memaparkan kejadian letusan Gunung Agung tahun 2017.

Beberapa desa di sekitar gunung pun ikut terdampak akibat erupsi tersebut. I Nengah Kariasa, selaku Perbekel Desa Adat Rendang menjelaskan dampak erupsi tersebut tidaklah signifikan bagi desanya. Ia menambahkan justru bidang pariwisata paling mengalami dampak, mengingat wisata air yang ada di daerahnya menggunakan aliran sungai, sehingga aktivitas saat itu tidak bisa berjalan. “Beberapa masyarakat bergantung pada bidang pertambangan, kerja jadi buruh, pengangkat pasir, dan proyek bangunan, sehingga mereka juga mengalami kendala. Dampaknya lebih ke pekerjaan,” imbuh Perbekel Rendang ini. Kariasa juga menambahkan tidak butuh waktu yang lama bagi Desa Rendang untuk pulih dan bangkit kembali pasca erupsi Gunung Agung. “Ketika dikatakan status sudah menurun, pariwisata kembali bangkit serta aktivitas pertambangan pasir kembali jalan, situasinya sudah normal kembali,” tambahnya.


Terdampak – Masyarakat mengalami dampak akibat erupsi, seperti dijelaskan I Nengah Kariasa, selaku Perbekel Desa Adat Rendang.

Pasca erupsi tersebut, ancala tertinggi itu statusnya kini berada di tingkat dua atau status waspada tentunya mengalami penurunan dari kondisi sebelumnya. “Kalau gunung aktif walaupun normal, biasanya gempa-gempa vulkanik tetap ada karena berada di level dua, maka potensi erupsi kecil hingga sedang itu masih ada karena masih gunung api aktif, sehingga belum bisa diturunkan statusnya,” jelas Surya.



Panik - Masyarakat lari keluar rumah dan berhamburan menuju PVMBG meminta kejelasan terkait informasi kondisi Gunung Agung.

Kemunculan erupsi mengakibatkan masyarakat takut dan khawatir hingga tidak kondusifnya wilayah Karangasem. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) melakukan pengamatan dan mempersiapkan diri terkait pengumpulan data hingga dapat diterapkan saat kejadian erupsi Gunung Agung 2017 silam, mengingat di tahun 1963 mereka belum memiliki data terkait letusan. “Pada tahun 2017 itu kami masih awam dengan data Gunung Agung karena pada tahun 63 itu kami tidak punya data, paling hanya foto saja. Jadi pada 2017 kemarin kami tidak ada referensi tentang Gunung Agung jika Meletus itu memerlukan gempa berapa. Jadi untuk 2017 merupakan pembelajaran bagi kami,” papar I Nengah Wardana selaku pengamat PVMBG. PVMBG menemukan terjadinya peningkatan aktivitas tektonik tetapi mereka tidak dapat memastikan, mereka hanya melihat kemungkinan yang terjadi jika akan meletus. “Untuk gunung api, tidak mungkin magma langsung menyembur, namun mengalami perubahan dan pasti ada pergerakan terlebih dahulu dari bawah kemudian naik dan segala macem. Pergerakan itulah yang dicatat menjadi gempa,” terang Wardana yang juga warga lokal setempat.

PVMBG memberi laporan status Gunung Agung saat ini berada pada tingkat waspada dengan rekomendasi 2 km dari tempat PVMBG itu sendiri. Adanya rekomendasi ini tentunya masyarakat merasa tetap aman. Manakala macam – macam letusan ini terjadi, seperti awan panas sulit diprediksi mengakibatkan tempat pengungsian juga bisa berubah. Hal ini dikarenakan awan panas hanya bisa dideteksi berdasarkan volumenya. Bagi masyarakat biasa awan panas itu adalah awan biasa, tetapi sebenarnya awan panas itu sama dengan longsoran. dengan kecepatan 300-400km/jam. Sehingga rekomendasi dari pihak PVMBG juga bersifat tentatif. Adapun potensi dari banyaknya erupsi yang mengeluarkan abu ini membuat tanah daerah lereng Gunung Agung menjadi subur akibat erupsi dan beberapa material pasir halus di jadikan ladang perekonomian yang dikembangan masyarakat yang hingga kini dikenal dengan nama galian C.

Lahirnya Sistem Komunikasi Digital dalam Mitigasi Gunung Agung

Keberadaan Gunung Agung yang berstatus aktif dan diikuti dengan bencana alam yang ditimbulkan pada tahun 1963 dan 2017 lalu, menumbuhkan sikap waspada dari masyarakat sekitar. Dalam hal ini, informasi atau pendidikan mitigasi bencana sangatlah diperlukan. Oleh karennya, keberadaan sistem komunikasi digital menemukan urgensinya. Hal inilah yang dilakukan oleh Surya dengan berinisiatif mendirikan komunitas Mitigasi Agung untuk menyebarkan informasi terkait aktivitas Gunung Agung kepada masyarakat sekitar. Bermula dari rasa iseng untuk membagikan informasi via media sosial Facebook, Surya pun diundang untuk bergabung ke grup sharing informasi Gunung Agung. Dari situlah, muncul keinginan untuk belajar lebih dalam tentang gunung, sehingga mendirikan sebuah grup Mitigasi Agung yang sampai saat ini masih aktif dalam penyebarluasan informasi terkait aktivitas Gunung Agung.

Pada awalnya, penyebaran informasi ini dilakukan dengan menggunakan alat komunikasi Handy Talky (HT). Namun, seiring dengan berjalannya waktu, penyebaran informasi ini juga dilakukan lewat media sosial, seperti grup Whatsapp, Facebook, Twitter, dan lain sebagainya yang dapat diakses oleh masyarakat umum. Hal ini dikarenakan HT hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, seperti perbekel, bendesa, dan sebagian masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi, sehingga informasi juga disebarkan di media sosial agar penyebarannya lebih efektif dan dapat menjangkau seluruh masyarakat. Selain penyebaran informasi lewat media, pimpinan desa atau perbekel juga turun langsung ke lapangan untuk memberikan informasi kepada warganya.

Pasca bencana erupsi yang terjadi 4 tahun silam, Surya mengatakan masyarakat kini sudah memiliki inisiatif untuk mencari informasi. “Masyarakat punya link magma yang bisa di-copy, jika ada pertanyaan bisa langsung ditanyakan”, jelasnya. Selain itu, komunitas Mitigasi Agung ini juga memilah informasi yang didapatkan, yaitu dengan menanyakan keabsahan infomasi ke pihak PVMBG kemudian dibagikan ke grup pribadi untuk mengecek kebenarannya sebelum disebarluaskan ke publik. Dirinya juga menambahkan dengan penyebaran informasi ini, dapat dipastikan seluruh masyarakat sudah mendapatkan informasi dengan baik karena adanya kerja sama antara seluruh elemen masyarakat yang dibantu oleh pihak perbekel.

Di masa pandemi ini, penyebaran informasi juga tetap dilakukan. Pemantauan Gunung Agung juga masih terus dilakukan setiap hari 24 jam karena walaupun gunung masih dalam keadaan landai, aktivitas gunung harus tetap dipantau setiap hari agar jika sewaktu-waktu ada masyarakat bertanya seputar Gunung Agung, pihak Mitigasi Agung tetap dapat memberikan informasi yang akurat dan tepat untuk warga. “Kalau ada aktivitas, kita langsung lapor, masyarakat juga aktif menanyakan mengenai aktivitas seismik”, lanjutnya.

Perbekel Desa Adat Rendang juga menambahkan jika penyebaran informasi sangat intens diberikan terutama pada saat erupsi 2017 lalu. Saat itu, informasi disebarkan melalui media sosial, juga memakai sarana tradisional, seperti kentongan. “Masyarakat banyak yang panik, jadi kami di desa berinisiatif memukul kentongan dan memberi informasi keliling pada masyarakat bahwa situasi masih kondusif,” jelas pria kelahiran 1987 ini.

Dalam penyebaran informasi tersebut, tentunya tidak lepas dari beberapa hambatan yang dialami, terutama perihal sinyal. Beberapa daerah yang letaknya dekat dengan Gunung Agung cukup sulit mendapatkan akses sinyal baik karena jangkauan wilayah berada di atas pegunungan. Namun, beberapa pihak telah menyumbangkan beberapa HT untuk memudahkan komunikasi agar penyebaran informasi lebih mudah dan cepat sampai ke masyarakat.



Seismograf – Penggunaan alat Seismograf buatan Jepang tahun 80-an kini sudah tersaji secara digital dengan layar komputer dan terhubungan dengan Seismograf ditanam di dekat kawah gunung.

Sama halnya dengan komunitas Mitigasi Agung, kini segala informasi mengenai vulkanologi dari PVMBG dapat diakses masyarakat luas melalui tautan https://magma.vsi.esdm.go.id/, dalam lama tersebut tersajikan pemantauan gunung api di Indonesia secara live. Mereka menerapkan sistem dengan gelombang pemancar serta cctv yang mengarah langsung di kawah Gunung Agung. PVMBG akan melaporkan keadaan gunung kepada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi berlokasi di Bandung, jika memang terjadi guncangan dan gempa vulkanik.

Mitigasi menjadi Kunci

Demi mengedukasi masyarakat terkait mitigasi bencana, pihak desa juga memberikan simulasi tanda erupsi kepada warga. Simulasi tersebut dilaksanakan dua kali dan perbekel Desa Adat Rendang menyebutkan antusiasme warga cukup tinggi untuk mengikuti kegiatan tersebut. “Saat sedang panas-panasnya mereka sangat antusias, tetapi saat situasi sudah mulai membaik, masyarakat tidak terlalu panik lagi, jadi jika dibilang antusias juga tidak terlalu, namun mereka tetap mengikuti”. Lebih lanjut, bia menjelaskan bahwa kegiatan simulasi haruslah dilakukan karena jika tidak, masyarakat menjadi tidak paham apa yang seharusnya dilaksanakan, sehingga jika terjadi kasus seperti September 2017 lalu, masyarakat sudah mengetahui langkah apa yang harusnya dilakukan. “Setelah kita melakukan edukasi dan simulasi pada masyarakat, jadi mengerti bahwa mereka tidak perlu sepanik itu, sehingga edukasi dan simulasi seperti itu sangat efektif”, tambah Kariasa.

Selain pemberian informasi secara rutin terkait aktivitas Gunung Agung, menurut Surya, mitigasi juga perlu disosialisasikan sejak dini terutama bagi daerah rawan bencana, misalnya dengan mengenal daerah masing-masing terlebih dahulu. Warga juga diminta untuk memperhatikan keadaan, bahwa mereka hidup di daerah rawan bencana dan tentunya harus siap dengan segala keadaan. Pria yang juga berprofesi sebagai guru olahraga ini menjelaskan terdapat setidaknya dua hal yang harus diperhatikan dalam kesiapan mitigasi. “Hal pertama adalah dalam keluarga dulu perlu dipersiapkan, seperti surat-surat penting dan tidak perlu panik,” ingatnya. Surya kemudian menjelaskan langkah selanjutnya, yaitu dalam lingkungan masyarakat, misalnya mengetahui di mana tempat pengungsian yang tepat. “Mitigasi ini siap tidak siap harus siap karena di Indonesia rawan bencana. Jadi, harus mengenali daerah masing-masing, perlu juga yang namanya siaga,” imbuh Surya.

Menurutnya, kini mitigasi warga sudah jauh lebih baik karena pengalaman warga sendiri pernah merasakan langsung akibat dari bencana erupsi. “Warga sudah aktif dan sudah bagus mitigasinya dengan persiapan lebih awal, misalnya diluar ngontrak tanah (tempat tinggal dipersiapkan). Jika seandainya aktif lagi Gunung Agungnya, maka sudah ada daerah tujuan. Kalau dulu kan belum, jadi bingung”, jelas Surya, pria yang berprofesi sebagai guru olahraga.

Saat ditanyai mengenai langkah ke depan, Surya mengungkapkan bahwa dirinya berharap bisa meresmikan komunitas ini. Namun, rencana tersebut belum dilanjutkan kembali karena terhalang biaya dan sulitnya mengurus surat-surat. Walaupun belum diresmikan, namun komunitas Mitigasi Agung ini telah mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari semua pihak, seperti warga, pihak desa, dan BPPD. “Jalan seperti biasa saja dulu yang penting tetap memberikan informasi kepada masyarakat”, ucap Surya sembari menanggapi pertanyaan terkait komunitas mitigasi bencana.



Pandangan Relawan – beberapa masyarakat sulit diberitahu, menurut I Wayan Suryana Arimbawa yang membuat kendala dalam proses pengungsian dilakukan.

Surya juga mengungkapkan tidak adanya kekurangan dari sistem mitigasi yang telah dilakukan. Adanya kerja sama dan alur koordinasi yang kuat menyebabkan sistem mitigasi ini sudah dapat dijalankan dengan baik, walaupun terdapat sebagian warga yang masih ‘bandel’ terutama saat mengungsi. Ia mengatakan perlunya kesadaran dari setiap elemen masyarakat agar sistem mitigasi ini dapat berjalan dengan lebih baik lagi. “Intinya untuk daerah rawan bencana, siapkan tas mitigasi dan surat-surat penting, lalu kenali daerahnya,” terang ayah dua anak ini.

Pihak PVMBG pun menginformasikan hal yang serupa bahwa untuk masyarakat sekitar gunung dapat lebih sadar karena mereka berada di daerah berbahaya di mana sewaktu-waktu bisa menjadi status awas pada level yang sudah tinggi. “Gunung dikatakan berbahaya ya karena penduduknya, kalau gunung tanpa ada penduduknya ya aman saja.” Saut Wardana kala itu. Mitigasi kebencanaan menjadi hal yang terpenting bila hidup di daerah rawan bencana. Kesiapan pengungsian, kepastian informasi, serta komunikasi menjadi kunci dalam pengurangan risiko menjadi pada setiap potensi kebencanaan.

Reporter : Yunita Tara

Penulis : Yunita dan Tara

Penyunting : Teja Sena