Memiliki bentang alam yang indah, kehidupan sosial dan budaya yang unik memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara yang sedang berkunjung ke Bali. Bali memiliki kekayaan akan nilai-nilai tradisi, budaya dan keindahan alamnya yang sudah ada sejak dahulu kala. Kekayaan inilah membuat Bali sebagai pulau kecil yang mampu dikenal dunia, salah satunya pengakuan yang diberikan oleh UNESCO pada tahun 2012 silam mengenai sistem Subak Bali sebagai salah satu warisan budaya dunia. Di Bali, beras memiliki peranan penting sebagai makanan pokok masyarakatnya, sehingga padi menjadi salah satu tanaman yang selalu ada tiap tahunnya.
Petani sedang memanen padi secara tradisional
Sumber: Mapala “WD” (2021)
Studi budaya Udayana Scientific Excursion (USE) 2021 mengangkat penelitian mengenai proses penanaman Padi Bali di Desa Adat Soka, Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Melihat letak geografis yang dimiliki Desa Adat Soka sebagai hulu Subak Tabanan dan Kabupaten Tabanan yang juga dikenal sebagai penghasil beras merah terbesar di Bali, hal ini menjadi daya tarik tersendiri untuk dikembangkannya sebuah penelitian dalam bingkai sosial dan budaya.
Masyarakat Bali memiliki kepercayaan dan kebiasaan bahwa dalam setiap mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan, diperlukan upacara keagamaan yang bertujuan memohon berkah, keselamatan serta pernyataan terima kasih kepada sang pencipta. Di Desa Adat Soka, hampir setiap bulannya para petani melakukan ritual untuk mendoakan padi yang dilaksanakan oleh anggota subak dengan tujuan untuk memohon kepada Tuhan agar tanaman padi terhindar dari serangan hama atau penyakit dan memberikan hasil yang baik.
Upacara mesaba
Sumber: Mapala “WD” (2021)
Pertumbuhan padi yang baik, tidak terlepas dari perawatan dan pengendalian hama yang dilakukan secara intensif. Keberadaan hama senantiasa hadir di dunia pertanian namun, adanya sistem pengetahuan yang diwarisi oleh leluhur membuat petani khususnya di Subak Soka Candi memiliki caranya tersendiri dalam menangani hama atau penyakit pada padi. Terdapat pula ritual khusus yang dilakukan oleh anggota subak, apabila hama atau penyakit menyerang padi mereka. Ritual tersebut dikenal dengan nangkluk merana/neduh namun pelaksanaan ritual ini sangat jarang dilakukan sebab serangan hama mampu diminimalisir dengan perhitungan waktu tanam yang baik, adanya kemampuan dalam melihat pergerakan alam dan memanfaatkan predator alami yang dibudidaya untuk membasmi hama.
Dapat dilihat pada saat petani Subak Soka Candi melakukan penanaman dengan menggunakan sistem pemilihan jenis bibit tanaman yang sama dan pemilihan waktu penanaman yang serentak, cara ini dinilai dapat mengurangi serangan hama yang agresif. Selain itu, hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas padi yang baik antar subak yang terdapat di desa terdekat. Kemampuan mengamati pergerakan alampun juga dimiliki oleh petani Subak Soka Candi sebelum membuka saluran irigasi mereka yaitu dengan melihat pergerakan air, yang dikenal dengan istilah “basah gede” atau air besar. Basah gede merupakan aliran yang patut dihindari karena alirannya yang deras dan kualitas air kurang baik. Apabila aliran sudah sudah tenang dan stabil atau dikenal dengan sebutan “eep” penanaman baru boleh dilakukan karena berkemungkinan kecil membawa hama atau penyakit di dalam aliran air tersebut. Terdapat catatan khusus untuk “eep” dimana tidak diperbolehkan menanam pada hari tidak baik walaupun dengan kondisi air yang sudah bagus, sebab anggota subak selalu memperhitungkan segala bentuk kegiatan dipersawahan mereka dengan menggunakan kalender Bali. Selain melihat tanda alam, penggunaan burung hantu (tyto alba) sebagai predator alami hama tikus merupakan wujud simbiosis mutualisme yang di lakukan oleh krama subak, sehingga meminimalisir penggunaan bahan-bahan kimia pada tanaman mereka.
Seluruh upacara dan kegiatan sistem organisasi kemasyarakatan Subak Soka Candi lainnya yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, dilaksanakan sesuai dengan adat dan aturan yang telah diwariskan oleh para leluhur dan dilaksanakan secara gotong-royong. Tidak heran apabila tradisi atau nilai budaya terdahulu tetap bertahan hingga saat ini. Semoga kearifan dan nilai-nilai positif yang dimiliki Subak Soka Candi dapat diaplikasikan dalam dunia pertanian di Indonesia sehingga lebih baik lagi.