Oleh: Mahesa Gunadi

Pandemi Covid-19 masih setia menunjukkan eksistensinya di Indonesia, hal ini dibuktikan melalui statistik yang menunjukkan kasus positif Covid-19 yang menembus angka 70.000, per tanggal 9 Juli 2020 tercatat rekor penambahan yang amat tinggi sebanyak 2.657 kasus. Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mewujudkan apa yang didamba yakni menyelamatkan rakyat. Menjaga keselamatan rakyat bukan sekadar melontarkan canda tak penting rasa nasi kucing, menjaga keselamatan rakyat bukan main amanahnya. Hal itu pun telah disadari sejak zaman Romawi Kuno melalui adagium hukum Salus Populi Suprema Lex Esto yang diungkapkan oleh Marcus Tullius Cicero seorang negarawan dan orator Romawi Kuno (3 Januari 106 SM-7 Desember 43 SM).

Adagium karya Cicero memilik makna yang amat dalam. Menurut Andang Binawan (2010) dalam bukunya “Kesucian Hukum di Ruang Publik”, Salus Populi Suprema Lex Esto bermakna “Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi.” Secara implisit adagium tersebut termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada alinea ke 4 yang berbunyi “…membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia…”, apabila ditafsirkan berarti keselamatan dan kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama bernegara. Sehingga negara harus menjamin dan melindungi segenap bangsa Indonesia.

Sayangnya, elok makna adagium tersebut belum sepenuhnya tercermin dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Jangankan implementasinya, payung hukum yang digunakan sebagai landasan penentuan kebijakan negara pun kian serong dari prinsip keadilan rakyat. Sebagai bukti, berbagai payung hukum kontroversial dan tak berpihak pada rakyat terus dilanjutkan dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas), diantaranya Omnimbus Law Cipta Kerja (Ciptaker) dan RUU Pertanahan. Meski Omnimbus Law masih ditunda pembahasannya, namun penundaan tersebut tak menutup kemungkinan akan dilanjutkan agenda pembahasannya. Memang tidak baik mendahulukan kepentingan investasi ditengah pandemi, namun pada kenyataannya pemerintah memutuskan untuk melanjutkan penyusunan rencana induk dan strategi pengembangan IKN atau master plan ibu kota baru.

Dilansir dari Kompas.com edisi 20 April 2020, penyusunan rencana induk dan strategi pengembangan IKN atau master plan ibu kota baru, kini telah terdaftar dalam Layanan Pengadaan Secara Elektronik milik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LPSE LKPP). Dalam situs tersebut, terlihat tender paket ibu kota baru ini didaftarkan tanggal 24 Maret 2020 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Adapun nilai tender atau Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang tertera di sana, mencapai Rp 85 miliar. Pemerintah semestinya menyadari bahwa negara tidak akan bubar meskipun Ibu Kota Negara tidak dipindahkan sekarang. Sebaliknya, penanganan Covid-19 yang lebih utama. Apabila pandemi ini ditangani dengan kurang tepat, bisa-bisa berpeluang membangkrutkan negara.

Sejak awal, penanganan pandemi di negeri ini terlampau santai. Pada dua bulan pertama, pemerintah membuang-buang waktu penanganan virus ini dengan sibuk menyangkal dan promosi wisata. Menuju Maret awal hingga akhir, pemerintah terus membuang waktu hanya untuk mencari formula yang tepat, seperti rencana lockdown-lah, karantina, darurat kesehatan, darurat sipil, sampai akhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan sampai saat ini pun masih prosedural dan berbelit-belit. Dapat dikatakan pada masa-masa itu, virus corona telah berbahagia menyusuri nusantara, tetapi birokrasi pemerintah justru masih jalan di tempat.

Entah apa yang ada dalam benak birokrat, gelontoran dana anggaran penanganan Covid-19 yang mencapai Rp 695,20 Triliun belum sepenuhnya tersalurkan. Dana besar tak akan berarti tanpa prinsip penyelenggaraan negara yang benar. Rencana Presiden Jokowi untuk memangkas birokrasi pada pemerintahannya kali ini masih belum tampak. Aliran dana bantuan sosial dari pemerintah kerap kali macet. Pemerintah yang terlanjur abai dalam menentukan fokus utama ditengah pandemi yakni kesehatan menimbulkan dampak besar yang menjalar sampai merasuk pada lemahnya ekonomi serta aspek lainnya.

Peningkatan kasus positif Covid-19 terus menghantui, entah sampai kapan ini akan berakhir yang jelas prahara corona harus ditumpas melalui penghayatan adagium Cicero yang menyatakan “Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi”. Kali ini jangan ada main-main lagi jika mengurus keadilan rakyat. Jangan sampai adagium ini hanya menjadi slogan diplomatis pemerintah dikala pandemi. Hanya berbicara soal keselamatan namun payung hukum yang diagungkan masih menyengsarakan rakyat.

 

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum

Penyunting: Yuko Utami