"Di tempat lain, di Jirah, desa yang dahulunya tenang dan damai, tiba-tiba terserang wabah. Wabah itu datang bagai hantu, tanpa sosok, menjalar ke seluruh pelosok desa. Dalam waktu sehari, padi yang merunduk dan kuning itu, tiba-tiba kering dan kosong. Hamparan hijau yang sejuk itu berubah menjadi coklat dan gersang. Palawija yang siap petik sekonyong-konyong pun ikut layu, sumur-sumur kering, rakyat banyak yang menderita busung lapar. Semua menanggung derita,” – Calon Arang Dari Jirah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995.
Penggalan ini merupakan bagian dari kisah Calon Arang. Kisah yang acap menjadi lakon pementasan seni drama tari saat ritual pemujaan oleh umat Hindu di pura. Eksistensi legenda Calon Arang yang mengisahkan wabah atau grubug yang menimpa Desa Jirah, menjadi penanda, masyarakat Hindu di Indonesia telah mengenal wabah sejak lama, jauh sebelum Covid-19 ini menyerang.
Wabah dalam Kepercayaan Hindu Bali
Dalam budaya Hindu, wabah dikenal dengan sasab merana, ada pula yang menyebut dengan gering atau grubug. Menurut Pemangku Pura Dalem Desa Adat Melaya, Jero Gede Dalem Gombang Winaya Nata menjelaskan, sasab merana dan grubug dibedakan berdasarkan kasus kematiannya. “Kalau sekarang ini masih merana saja. Kalau grubug itu berarti sudah pada mati. Seperti yang terjadi di Wuhan kemarin itu sudah masuk grubug. Grubug agung, karena mereka sudah kewalahan menangani, di Bali ini mau grubug kalau kita tidak mau menaati protokol kesehatan,” kata pemangku yang biasa dipanggil Mangku Gede ini.
Menurut Mangku Gede, virus dalam Hindu dikategorikan sebagai bhuta karena sifatnya yang dapat merusak manusia dan juga alam. Masyarakat Hindu Bali mempercayai, bhuta tidak dapat dihilangkan namun dapat dikembalikan pada alam agar tak mengganggu umat manusia. “Netralisirnya itu ada 2 cara, secara niskala, netralisir itu dilakukan dengan upacara. Upacara itu adalah dengan cara nangluk merana, mengadakan caru, mengadakan suatu upakara yang sesuai dengan adat aturan dalam kitab-kitab kemeranan itu. Kedua kita selalu introspeksi diri, mawas diri lagi kepada diri kita sendiri, karena kita sudah dibekali akal, pikiran dan perbuatan, jadi menghindarlah,” ujar Mangku Gede saat diwawancarai, Selasa, 23/06/2020.
Kebudayaan Hindu Bali mempercayai ada banyak cara-cara niskala dalam menanggulangi wabah. Beberapa diantaranya yang dilakukan pada saat pandemi Covid-19 ini adalah, memasang penolak bala di pintu masuk rumah, menghaturkan pejati, dan menyuguhkan nasi wong-wongan. Upacara-upacara ini pun dilakukan secara serentak oleh umat Hindu Bali di rumah masing-masing.
Penggalan ini merupakan bagian dari kisah Calon Arang. Kisah yang acap menjadi lakon pementasan seni drama tari saat ritual pemujaan oleh umat Hindu di pura. Eksistensi legenda Calon Arang yang mengisahkan wabah atau grubug yang menimpa Desa Jirah, menjadi penanda, masyarakat Hindu di Indonesia telah mengenal wabah sejak lama, jauh sebelum Covid-19 ini menyerang.
Wabah dalam Kepercayaan Hindu Bali
Dalam budaya Hindu, wabah dikenal dengan sasab merana, ada pula yang menyebut dengan gering atau grubug. Menurut Pemangku Pura Dalem Desa Adat Melaya, Jero Gede Dalem Gombang Winaya Nata menjelaskan, sasab merana dan grubug dibedakan berdasarkan kasus kematiannya. “Kalau sekarang ini masih merana saja. Kalau grubug itu berarti sudah pada mati. Seperti yang terjadi di Wuhan kemarin itu sudah masuk grubug. Grubug agung, karena mereka sudah kewalahan menangani, di Bali ini mau grubug kalau kita tidak mau menaati protokol kesehatan,” kata pemangku yang biasa dipanggil Mangku Gede ini.
Menurut Mangku Gede, virus dalam Hindu dikategorikan sebagai bhuta karena sifatnya yang dapat merusak manusia dan juga alam. Masyarakat Hindu Bali mempercayai, bhuta tidak dapat dihilangkan namun dapat dikembalikan pada alam agar tak mengganggu umat manusia. “Netralisirnya itu ada 2 cara, secara niskala, netralisir itu dilakukan dengan upacara. Upacara itu adalah dengan cara nangluk merana, mengadakan caru, mengadakan suatu upakara yang sesuai dengan adat aturan dalam kitab-kitab kemeranan itu. Kedua kita selalu introspeksi diri, mawas diri lagi kepada diri kita sendiri, karena kita sudah dibekali akal, pikiran dan perbuatan, jadi menghindarlah,” ujar Mangku Gede saat diwawancarai, Selasa, 23/06/2020.
Kebudayaan Hindu Bali mempercayai ada banyak cara-cara niskala dalam menanggulangi wabah. Beberapa diantaranya yang dilakukan pada saat pandemi Covid-19 ini adalah, memasang penolak bala di pintu masuk rumah, menghaturkan pejati, dan menyuguhkan nasi wong-wongan. Upacara-upacara ini pun dilakukan secara serentak oleh umat Hindu Bali di rumah masing-masing.
Foto: Upakara penolak bala yang terpasang di pintu masuk. Dok: Via (Akademika)
Penolak bala ini terbuat dari daun pandan yang berisikan kapur sirih bertanda palang, daun tulak, ilalang, kayu sisih, serta bawang dan cabai. Mangku Gede menjelaskan, setiap komponen upakara ini memiliki maknanya tersendiri. Maknanya tak jauh berbeda, semua bermuara pada simbol penolak segala penyakit dan bahaya. Di sisi lain, komponen ini pula memberi sugesti pada umat bahwa segala hal yang bersifat buruk dan jahat tidak akan mau mendekat bila menggunakan penolak bala.
Kedua, ada upakara segehan wong-wongan. Masyarakat Hindu mempercayai, bhuta yang dikenal dengan virus saat ini membutuhkan labahan (makanan) maka diberilah segehan wong-wongan, yakni nasi berwarna-warni yang dibentuk menyerupai bentuk manusia. “Itu makanannya, agar mereka setelah makan bisa kembali kepada alamnya, dan tidak lagi menyerang umatnya yang melaksanakan sajen itu,” tegas Mangku Gede. Ia menambahkan, pada segehan wong-wongan juga berisi bawang, jahe, dan garam sebagai lauk-pauk untuk para bhuta.
Kedua, ada upakara segehan wong-wongan. Masyarakat Hindu mempercayai, bhuta yang dikenal dengan virus saat ini membutuhkan labahan (makanan) maka diberilah segehan wong-wongan, yakni nasi berwarna-warni yang dibentuk menyerupai bentuk manusia. “Itu makanannya, agar mereka setelah makan bisa kembali kepada alamnya, dan tidak lagi menyerang umatnya yang melaksanakan sajen itu,” tegas Mangku Gede. Ia menambahkan, pada segehan wong-wongan juga berisi bawang, jahe, dan garam sebagai lauk-pauk untuk para bhuta.
Foto: Pejatian, sarana untuk menghadap Tuhan dalam kepercayaan Hindu Bali. Dok: Via (Akademika)
Kemudian ada upacara menghaturkan pejati secara serentak di masing-masing rumah. Mangku Gede menjelaskan, pejati adalah ulun (kepala) dari segala banten/sajen yang biasa dipergunakan oleh umat Hindu sebagai sarana menghadap Tuhan. Tujuan dari mempersembahkan pejati ini adalah memohon keselamatan pada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar diberikan keselamatan. Terakhir ada sesayut yang dipersembahkan di Pura Dalem Desa Melaya, untuk memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan manifestasinya sebagai Dewa Siwa.
Selain langkah-langkah secara niskala, masyarakat Hindu Bali telah mengenal penanganan Covid-19 secara sekala. Wayan P. Windia, Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Udayana mengatakan masyarakat Bali sesungguhnya telah mengenal pencegahan penyebaran wabah dengan cara yakni melakukan pajohin, yang bermakna menjauhi para penderitanya, ditempatkan diluar wilayah atau wewidangan (dikarantina).
Desa Adat dalam Pandemi
Masyarakat Bali mengenal dua jenis desa, yakni adat dan dinas. Menurut Wayan P. Windia, kedua jenis desa itu memiliki perbedaan dari segi asal-usul, dasar hukum, dan tata kelola. Masyarakat yang tergabung didalamnya dikenal sebagai krama. Krama terikat secara turun-temurun sebagai penyungsung Kahyangan Tiga yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Selajutnya, desa adat dikelola dengan landasan hukum adat atau awig-awig yang segala keputusannya dilakukan melalui musyararah (perarem). Pengurus desa adat disebut prajuru, dengan pucuk pimpinannya adalah bendesa atau kelihan. Sementara masyarakat desa dinas terikat karena berada di satu kesatuan wilayah desa tersebut berdasarkan KTP. Desa dinas berlandaskan hukum pada hukum nasional dan dipimpin oleh kepala desa.
Sejak pandemi Covid-19 seluruh desa adat di Bali telah mengambil peran besar dalam menanggulangi Covid-19, tak terkecuali Desa Adat Melaya. Secara geografis berlokasi di Desa Melaya, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Desa Adat Melaya, sejak lama telah memiliki jumlah tamiu yang cukup banyak. Menurut Perda Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019, tamiu adalah mereka yang berada di wilayah desa adat untuk bertempat tinggal sementara atau menetap, biasanya para tamiu ini adalah mereka yang tak memeluk agama Hindu, namun keberadaan mereka tetap terdata oleh desa adat.
Bendesa Adat Melaya, I Komang Suardhita mengungkapkan masyarakat Desa Adat Melaya yang sangat heterogen membuat pihaknya kesulitan melakukan pendeteksian penyebaran Covid-19 dan membuat pendataan Covid-19 berbasis desa adat. “Karena kita di Melaya ini sangat heterogen sekali, nah ini yang menjadi masalah besarnya. Kalau di tempat lain aman dia. Gampang deteksi itu. Kalau kita umat muslim saja sudah hampir 30%,” ujar Komang (Minggu, 21/06/2020).
Komang mengungkapkan, untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Desa Adat Melaya, pihaknya telah melakukan berbagai upaya diantaranya operasi dan sidak di Pasar Melaya sebagai kluster tertinggi Covid-19 di Desa Melaya mengingat, Pasar Melaya adalah satu-satunya pusat perbelanjaan yang ada di Kecamatan Melaya. Melaksanakan kegiatan pencegahan Covid-19 Desa Adat Melaya, menggandeng para muda-mudi yang tergabung dengan Sekaa Teruna-Teruni (STT) juga melakukan penyemprotan desinfektan ke rumah-rumah warga, melakukan sidak dan membubarkan kumpul-kumpul warga, serta sosialisasi dengan cara broadcast hingga ke seluruh pelosok Desa Melaya untuk mengingatkan warga agar tetap patuh pada protokol kesehatan.
Sayangnya, untuk kegiatan penyemprotan desinfektan, Desa Adat Melaya belum mampu melakukan penyemprotan hingga ke rumah-rumah warga non-Hindu yang bermukim, seperti pemukiman suku Bugus dan Madura yang berada di pinggir pantai dan pemukiman umat Buddha dan Kristiani yang berada di perbatasan Desa Melaya dan Desa Blimbingsari. “Di dana kita agak benturnya, kalau seluruhnya ada kawasan-kawasan yang tidak bisa kita jangkau, seperti komplek-komplek semeton umat muslim. Kalau di non hindu, dinasnya yang punya tugas. Seandainya kita diberi dana yang cukup, semua akan kita semprot (desinfektan—red),” jelas Komang.
Selain langkah-langkah secara niskala, masyarakat Hindu Bali telah mengenal penanganan Covid-19 secara sekala. Wayan P. Windia, Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Udayana mengatakan masyarakat Bali sesungguhnya telah mengenal pencegahan penyebaran wabah dengan cara yakni melakukan pajohin, yang bermakna menjauhi para penderitanya, ditempatkan diluar wilayah atau wewidangan (dikarantina).
Desa Adat dalam Pandemi
Masyarakat Bali mengenal dua jenis desa, yakni adat dan dinas. Menurut Wayan P. Windia, kedua jenis desa itu memiliki perbedaan dari segi asal-usul, dasar hukum, dan tata kelola. Masyarakat yang tergabung didalamnya dikenal sebagai krama. Krama terikat secara turun-temurun sebagai penyungsung Kahyangan Tiga yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Selajutnya, desa adat dikelola dengan landasan hukum adat atau awig-awig yang segala keputusannya dilakukan melalui musyararah (perarem). Pengurus desa adat disebut prajuru, dengan pucuk pimpinannya adalah bendesa atau kelihan. Sementara masyarakat desa dinas terikat karena berada di satu kesatuan wilayah desa tersebut berdasarkan KTP. Desa dinas berlandaskan hukum pada hukum nasional dan dipimpin oleh kepala desa.
Sejak pandemi Covid-19 seluruh desa adat di Bali telah mengambil peran besar dalam menanggulangi Covid-19, tak terkecuali Desa Adat Melaya. Secara geografis berlokasi di Desa Melaya, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Desa Adat Melaya, sejak lama telah memiliki jumlah tamiu yang cukup banyak. Menurut Perda Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019, tamiu adalah mereka yang berada di wilayah desa adat untuk bertempat tinggal sementara atau menetap, biasanya para tamiu ini adalah mereka yang tak memeluk agama Hindu, namun keberadaan mereka tetap terdata oleh desa adat.
Bendesa Adat Melaya, I Komang Suardhita mengungkapkan masyarakat Desa Adat Melaya yang sangat heterogen membuat pihaknya kesulitan melakukan pendeteksian penyebaran Covid-19 dan membuat pendataan Covid-19 berbasis desa adat. “Karena kita di Melaya ini sangat heterogen sekali, nah ini yang menjadi masalah besarnya. Kalau di tempat lain aman dia. Gampang deteksi itu. Kalau kita umat muslim saja sudah hampir 30%,” ujar Komang (Minggu, 21/06/2020).
Komang mengungkapkan, untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Desa Adat Melaya, pihaknya telah melakukan berbagai upaya diantaranya operasi dan sidak di Pasar Melaya sebagai kluster tertinggi Covid-19 di Desa Melaya mengingat, Pasar Melaya adalah satu-satunya pusat perbelanjaan yang ada di Kecamatan Melaya. Melaksanakan kegiatan pencegahan Covid-19 Desa Adat Melaya, menggandeng para muda-mudi yang tergabung dengan Sekaa Teruna-Teruni (STT) juga melakukan penyemprotan desinfektan ke rumah-rumah warga, melakukan sidak dan membubarkan kumpul-kumpul warga, serta sosialisasi dengan cara broadcast hingga ke seluruh pelosok Desa Melaya untuk mengingatkan warga agar tetap patuh pada protokol kesehatan.
Sayangnya, untuk kegiatan penyemprotan desinfektan, Desa Adat Melaya belum mampu melakukan penyemprotan hingga ke rumah-rumah warga non-Hindu yang bermukim, seperti pemukiman suku Bugus dan Madura yang berada di pinggir pantai dan pemukiman umat Buddha dan Kristiani yang berada di perbatasan Desa Melaya dan Desa Blimbingsari. “Di dana kita agak benturnya, kalau seluruhnya ada kawasan-kawasan yang tidak bisa kita jangkau, seperti komplek-komplek semeton umat muslim. Kalau di non hindu, dinasnya yang punya tugas. Seandainya kita diberi dana yang cukup, semua akan kita semprot (desinfektan—red),” jelas Komang.
Foto: Kegiatan penyemprotan desinfektan di salah satu rumah warga non-Hindu yang dilakukan oleh salah satu pemuda. Dok: Via (Akademika)
Komang menambahkan, hanya rumah-rumah tamiu yang kebetulan bertetangga dengan krama desa adat, rumah itu tetap akan didisinfeksi. Lokasi-lokasi tertentu yang menjadi ranah desa dinas masih belum dapat dijangkau oleh desa adat karena terbatasnya dana yang dimiliki desa adat, meski telah menggunakan sistem gotong royong atau ngayah menggandeng muda-mudi desa dalam melaksanakan seluruh program desa adat.
Desa dinas yang memiliki peran besar dalam melindungi masyarakat non-Hindu telah menghentikan kegiatan penyemprotan desinfektan sejak bulan Mei lalu dan saat ini hanya melakukan edukasi pencegahan Covid-19. Sekretaris Desa Melaya I Nyoman Suarsana (54) menjelaskan saat diwawancarai pada Selasa, 30/06/2020, penurunan intensitas kegiatan pencegahan Covid-19 dari desa dinas ini dikarenakan sudah tidak ada lagi penambahan kasus positif. “Nanti kalau memang ada, ya mudah-mudahan sih tidak, baru kita tingkatkan lagi,” ujarnya.
Desa dinas yang memiliki peran besar dalam melindungi masyarakat non-Hindu telah menghentikan kegiatan penyemprotan desinfektan sejak bulan Mei lalu dan saat ini hanya melakukan edukasi pencegahan Covid-19. Sekretaris Desa Melaya I Nyoman Suarsana (54) menjelaskan saat diwawancarai pada Selasa, 30/06/2020, penurunan intensitas kegiatan pencegahan Covid-19 dari desa dinas ini dikarenakan sudah tidak ada lagi penambahan kasus positif. “Nanti kalau memang ada, ya mudah-mudahan sih tidak, baru kita tingkatkan lagi,” ujarnya.
Foto: Kegiatan operasi pasar yang dilakukan Desa Adat Melaya melibatkan muda-mudi. Dok: Via (Akademika)
Keterbatasan dana yang dialami oleh desa adat mendorong Desa Adat Melaya untuk lebih mengutamakan operasi dan sidak pasar untuk menekan laju penyebaran virus. Desa Adat Melaya juga melakukan sidak ke seluruh lingkungan Desa Melaya untuk membubarkan kumpul-kumpul warga yang biasanya dilakukan oleh anak-anak muda. Terbukti, tidak ada penambahan kasus antara Mei hingga Juni. Di tanggal 12 Juli 2020 terkonfirmasi 3 orang positif Covid-19 di Desa Melaya setelah adanya penerapan normal baru.
Kesulitan Masyarakat di Masa Pandemi
Nanik (55) ialah seorang pedagang aksesoris di Pasar Melaya. Ia telah kehilangan banyak penghasilan setelah pandemi Covid-19 ini merebak. “Kalau dulu (sebelum pandemi—red) bisa dapat Rp 300.000 sekarang bisa tidak dapat sama sekali,” ujar Nanik (Selasa, 30/06/2020). Di sisi lain, Munipah (37), seorang tukang kerik kelapa pun mengungkapkan hal serupa. “Dulu sebelum corona ya satu minggu nyari 300 – 400 dapat. Kalau sekarang nyari uang 100 ribu aaja susah satu minggu selama corona ini susah ya,” katanya (Sabtu, 27/06/2020). Munipah mengakui dirinya kini beralih profesi membuat jejahitan dengan penghasilan Rp 40.000 dalam tiga hari.
Perempuan yang akrab disapa Mun ini, mengungkapkan dirinya kesulitan membayar uang sekolah anaknya yang mendaftar di MAN. Biaya yang harus dibayarkan kepada sekolah sebesar Rp 1.920.000, dan dirinya baru membayar DP sebesar Rp 100.000. Ia sempat mengharapkan memperoleh BLT untuk membayar biaya sekolah anaknya, mengingat ia juga seorang single parent yang juga berhak mendapat BLT, namun sangat disayangkan ia tak terdata sebagai penerima BLT. “Orang saya sampai ngomong loh sama anak, ‘Lia kalau mamak dapet BLT langsung dah bawa ke sekolah Lia, ada uang pakai nambahin uang pendaftaran.’ Sampai ngomong gitu sama dia ternyata enggak dapat,” ujarnya diikuti dengan tawa kecil.
Munipah mengakui dirinya sempat meminjam beras dari pesantren yang ada di samping rumahnya, sebab dirinya tak memperoleh bantuan beras. “Yang beras 5kg baru dapet, yang ada telur. Itu kan untuk lansia, Mak. Mamak yang dapat tu,” kata Mun pada sang ibu.
Menanggapi hal ini Sekretaris Desa Melaya I Nyoman Suarsana mengatakan pemberian BLT dan bantuan sembako ini kembali pada masalah pendataan di tingkat RT. “Jadi kelihan yang lebih tahu, kita di desa kan tidak tahu mana yang kemungkinan double, kita kan gak tau di desa,” ujarnya.
Menapaki Jejak Keberagaman di Desa Melaya
Profesi tukang kerik yang dilakoni oleh Munipah adalah profesi yang sangat lumrah bagi perempuan di Desa Melaya. Pekerjaan tukang kerik adalah membersihkan serabut-serabut kelapa yang akan digunakan sebagai sarana upacara. Kelapa umumnya ditemukan pada banten pejati, yang sebelumnya digunakan juga sebagai upaya menghalau Covid-19 secara niskala.
Foto: Para tukang kerik yang sedang menjalankan pekerjaannya di tengah pandemi Covid-19. Dok: Via (Akademika)
Sejak Pandemi Covid-19, Munipah beralih profesi dengan mengerjakan jejahitan tamas dan taledan yang juga merupakan bagian dari sarana upacara umat Hindu. Ia merasa bersyukur dengan ada pekerjaan ini dirinya bisa menyambung hidup meski permintaan terhadap kelapa banten saat ini sedang turun.“Yang penting kita cari halalnya saja. Niat Mbok Mun itu gini, untuk cari uang gitu, yang penting itu halal. Di saat kita mau sembahyang ya istilahnya aku ke Masjid, dia ke Pura. Cari simple-nya kan memang begitu, toh tujuan kita sama. Sama-sama menghadap yang kuasa, Cuma caranya yang beda,” tuturnya.
Ia menyampaikan kehidupannya selama ini bertetangga langsung dengan umat Hindu tidak ada pernah ada permasalahan. “Ya syukurnya kita disini hidup kita semua saling membutuhkan lah modelnya,” tambahnya.
Hal serupa disampaikan oleh Vandi Dama (21) saat diwawancarai Kamis, 09/07/2020via aplikasi chatting Line. Ia mengakui selama 21 tahun tinggal di Desa Melaya ia tak pernah merasa terkucilkan oleh masyarakat mayoritas Hindu, begitu juga dengan keluarganya. “Ya, baik, ramah, tidak pernah mendiskriminasi minoritas,” jawabnya ketika ditanya bagaimana kesannya terhadap masyarakat Hindu di Desa Melaya.
Nyoman Sumitri (70), sejak menikah diusia 16 tahun, dirinya telah menetap di Desa Melaya dan memang sudah banyak umat non-Hindu yang menetap di Desa Melaya saat itu. Sejak lama dirinya memang sudah bertetangga dengan umat Muslim dan Kristen. Ia pun mengembalikan ingatannya pada masa-masa saat dirinya saat akan melahirkan anak kedua, ia dibantu oleh tetangganya yang merupakan seorang muslim. “Jaman to sing ada bidan. Nak Mak to suba ane nulungin (Zaman itu tidak ada bidan. Mak itulah yang menolong),” ujar Sumitri (Minggu, 17/05/2020) teringat pada dirinya yang dibantu oleh seorang muslim untuk melahirkan anak keduanya. Ia mengakui hingga saat ini hubungannya dengan tetangga-tetangganya terdahulu masih baik-baik saja. “Kanti jani nu inget ye metakon lamun tepuk (Sampai saat ini mereka masih menyapa kalau bertemu),” tukasnya.
Penulis: Murni Oktaviani
Penyunting: Galuh Sriwedari
Ia menyampaikan kehidupannya selama ini bertetangga langsung dengan umat Hindu tidak ada pernah ada permasalahan. “Ya syukurnya kita disini hidup kita semua saling membutuhkan lah modelnya,” tambahnya.
Hal serupa disampaikan oleh Vandi Dama (21) saat diwawancarai Kamis, 09/07/2020via aplikasi chatting Line. Ia mengakui selama 21 tahun tinggal di Desa Melaya ia tak pernah merasa terkucilkan oleh masyarakat mayoritas Hindu, begitu juga dengan keluarganya. “Ya, baik, ramah, tidak pernah mendiskriminasi minoritas,” jawabnya ketika ditanya bagaimana kesannya terhadap masyarakat Hindu di Desa Melaya.
Nyoman Sumitri (70), sejak menikah diusia 16 tahun, dirinya telah menetap di Desa Melaya dan memang sudah banyak umat non-Hindu yang menetap di Desa Melaya saat itu. Sejak lama dirinya memang sudah bertetangga dengan umat Muslim dan Kristen. Ia pun mengembalikan ingatannya pada masa-masa saat dirinya saat akan melahirkan anak kedua, ia dibantu oleh tetangganya yang merupakan seorang muslim. “Jaman to sing ada bidan. Nak Mak to suba ane nulungin (Zaman itu tidak ada bidan. Mak itulah yang menolong),” ujar Sumitri (Minggu, 17/05/2020) teringat pada dirinya yang dibantu oleh seorang muslim untuk melahirkan anak keduanya. Ia mengakui hingga saat ini hubungannya dengan tetangga-tetangganya terdahulu masih baik-baik saja. “Kanti jani nu inget ye metakon lamun tepuk (Sampai saat ini mereka masih menyapa kalau bertemu),” tukasnya.
Penulis: Murni Oktaviani
Penyunting: Galuh Sriwedari