lustrasi : Galuh Sriwedari
Oleh Murni Oktaviani
“Terseret Kasus Narkoba, Lucinta Luna Masuk Sel Mana?”: Kumparan.com, 12 Februari 2020.
“Diamankan Pihak Berwajib, Lucinta Luna Masuk Sel Laki-laki atau Perempuan?”: Tribunnews.com, 12 Februari 2020.
“Ditangkap Polisi, Lucinta Luna Masuk Sel Pria atau Wanita?”: Tagar.id, 11 Februari 2020.
Kalimat-kalimat diatas adalah cara media menggambarkan seorang transpuan yang tersandung kasus narkoba. Judul-judul berita tersebut menggambarkan, media masih melakukan diskriminasi terhadap kaum transpuan yang termasuk kelompok minoritas LGBT.
Istilah transpuan diturunkan dari kata transgender yang merujuk pada seseorang yang memiliki identitas gender yang berbeda dari seks yang ditunjukkan saat ia lahir. Istilah transpuan saat ini digunakan untuk menyebutkan seseorang berjenis kelamin laki-laki namun berprilaku layaknya perempuan. Dilansir dari jeda.id, sebelumnya para transgender disebut dengan “bencong”, namun istilah ini dianggap kasar dan cenderung melecehkan (dilansir dari jeda.id “Perkembangan Istilah Banci, Transgender hingga Jadi Transpuan”).
Transpuan mengalami perlakuan diskriminasi yang beruntun. Dalam kehidupan sehari-hari, transpuan kerap sulit mendapatkan pekerjaan. Sebab, penampilan mereka yang sudah menjelma perempuan membuat orang enggan memperkerjakan mereka. Meghan Kimoralez, seorang transpuan yang juga merupakan Koordinator Yayasan Gaya Dewata mengakui hal tersebut. Selain dalam kehidupan sehari-hari, transpuan juga mengalami tediskriminasi oleh media. Seringkali, dalam kasus transpuan yang melakukan tindak kejahatan, justru fokus penyajian pemberitaan media ialah pada identitas gender pelaku, bukan pada tindak kejahatan yang dilakukan.
Diskriminasi media terhadap kelompok LGBT, seperti pemberitaan Lucinta Luna atau yang diceritakan oleh Kimoralez tersebut merupakan bentuk strukturasi media. Moscow (dalam Ayun: 2015) menyebutkan strukturasi sebagai suatu sistem yang timpang dalam kelas sosial di masyarakat. Kelompok LGBT adalah kelompok dengan orientasi yang berbeda dari masyarakat kebanyakan. LGBT keluar dari adat yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia bahwa laki-laki harus menyukai perempuan begitu pula sebaliknya. Hal ini lah yang menyebabkan kaum LGBT tak dianggap sebagai bagian dari masyarakat dan termarjinalkan.
Kelompok LGBT juga selalu dijadikan komoditas media. Tak hanya dalam kasus pemberitaan Lucinta Luna, komodifikasi kelompok LGBT selalu terjadi di setiap kasus yang melibatkan kelompok ini. Komodifikasi menurut Moscow (dalam Ayun:2015), dijelaskan sebagai penambahan nilai guna menjadi nilai tukar. Hal yang dapat dikomodifikasikan dari LGBT adalah perbedaan orientasi seksual yang dipandang aneh. Selain itu bentuk penampilan kelompok LGBT khususnya pada kelompok transgender selalu menjadi bahan olok-olok serta dianggap pantas untuk diolok-olok karena mereka berpenampilan tak seperti masyarakat kebanyakan.
Kelompok LGBT banyak direpresentasikan media sebagai kumpulan orang-orang yang memiliki penyimpangan secara psikologis dan merupakan penyakit masyarakat. (Nugroho, dkk., dalam Indari:2018). Kelompok minoritas seperti LGBT selalu menjadi sasaran empuk eksploitasi oleh media. Pemberitaan sensasional dengan memanfaatkan identitas kelompok LGBT selalu menjadi bacaan “gurih” bagi kelompok mayoritas, sementara bagi media hal ini adalah sumber uang.
Strukturasi dan komodifikasi kelompok LGBT di media menyebabkan miskonsepsi dan misinformasi terhadap kelompok LGBT sebagai kelompok minoritas. WHO sendiri telah menyatakan LGBT bukan lagi penyakit mental sejak Mei 2019. Hal ini membuktikan bahwa orientasi seksual bukanlah jiwa ataupun penyimpangan. Orientasi seksual merupakan konstruksi sosial, begitu pula dengan gender.
Strukturasi dan komodifikasi terhadap LGBT sudah tak sepantasnya untuk dilakukan. Media harus mengedepankan kode etik jurnalistik yakni bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk, serta selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.
Penyunting : Galuh Sriwedari
Referensi:
2020. Terseret Kasus Narkoba, Lucinta Luna Masuk Sel Mana? Dalam https://kumparan.com/berita-hari-ini/terseret-kasus-narkoba-lucinta-luna-masuk-sel-mana-1spDQ7m0Wgs, pada 16 Maret 2020.
Assegaf, Jafar Sodiq. 2019. Perkembangan Istilah Banci, Transgender hingga Jadi Transpuan. Dalam https://jeda.id/real/perkembangan-istilah-banci-transgender-hingga-jadi-transpuan-3513, diakses pada 16 Maret 2020.
Ayun, Primada Qurrota. 2015. Sensualitas dan Tubuh Perempuan dalam Film-film Horor di Indonesia (Kajian Ekonomi Politik Media). Yogyakarta: Jurnal Simbolika.
Margareth, Ronauli. 2020. Ditangkap Polisi, Lucinta Luna Masuk Sel Pria atau Wanita?. Dalam https://tagar.id/ditangkap-polisi-lucinta-luna-masuk-sel-pria-atau-wanita, diakses pada 16 Maret 2020.
Prasasti, Giovani Dio.2019. WHO: Transgender Bukan Lagi Gangguan Mental. Dalam https://www.liputan6.com/health/read/3987071/who-transgender-bukan-lagi-gangguan-mental, diakses pada 16 Maret 2020.
Saputri, Nanda Lusiana. 2020. Diamankan Pihak Berwajib, Lucinta Luna Masuk Sel Laki-laki atau Perempuan? Dalam https://www.tribunnews.com/seleb/2020/02/12/diamankan-pihak-berwajib-lucinta-luna-masuk-sel-perempuan-atau-laki-laki-ini-kata-polisi?, diakses pada 16 Maret 2020.