Foto kegiatan penyemprotan disinfektan oleh petugas Puskeswan Manggis

Kasus kematian babi di Bali sudah merambah sampai ke bagian timur Bali, yaitu Kabupaten Karangasem. Buktinya, sejumlah peternak yang berada di kawasan Manggis, Karangasem, mulai resah, sebab kematian babi secara mendadak tergolong besar. Diantaranya curiga, jangan-jangan ini grubug African Swine Fever (ASF). Benarkah demikian?

Sejumlah peternak curiga, ASF (African Swine Fever) sudah masuk dan merambah di Kabupaten Karangasem. Seperti yang diungkap oleh Ni Nyoman Tinggen, salah satu peternak rakyat yang kini semua babi miliknya mati satu per satu dalam jangka waktu yang berdekatan. “Kemungkinan ini penyakit ASF seperti yang diberitakan di sosial media. Babi saya habis, tidak ada yang tersisa. Semua mati diakibatkan oleh virus ASF,” akunya. “Awalnya, babi saya tidak mau makan, sudah disuntik tapi tidak ada perubahan. Beberapa hari kemudian mati, diikuti dengan babi saya yang lain. Saya mempunyai 5 indukan babi, dan semuanya mati dengan menunjukan gejala yang sama,” lanjut Tinggen.

Kecurigaan adanya wabah ASF tidak bisa ditepis oleh I Wayan Koat Winarta, salah satu petugas paramedik veteriner dan IB. “Memang wabah ASF sudah mulai masuk ke Indonesia, tapi saya tidak berani mengatakan bahwa kasus kematian babi yang saat ini terjadi merupaka kasus ASF. Perlu dilakukan tes lebih lanjut untuk mengetahuinya. Tes tersebut dilakukan oleh dinas terkait yaitu Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali,” papar Koat. “Kasus yang sedang peternak alami memang gejalanya sama dengan gejala ASF seperti yang sudah disosialisasikan. Saya tidak bisa memfonis kasus tersebut adalah kasus ASF, karena khwatir akan terjadinya kecemasan berlebih pada masyarakat,” imbuhnya.

ASF (African Swine Fever) memiliki gejala-gejala khas. “Dari sosialisasi yang sudah dilakukan, ASF menunjukkan beberapa gejala. Gejala tersebut bisa berupa demam berkepanjangan yang mengakibatkan tidak ada nafsu makan pada babi. Masa in kubasinya kurang lebih sekitar 3-15 hari,” jelas Koat. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, terungkap bahwa penyakit ASF belum ada obat maupun vaksin sebagai pencegahannya. Sosialisasi sudah dilakukan oleh dinas terkait, agar wabah ini tidak sampai merugikan banyak peternak dan masyarakat. Contoh kegiatan pencegahan yang sudah dilakukan oleh Puskeswan Manggis adalah menyemprotkan desinfektan ke kandang-kandang peternak.

“Memang dari pihak puskeswan sudah melakukan pencegahan dengan cara menyemprotkan desinfektan ke kandang-kandang peternak. Tidak hanya sampai di sana, tidak lupa kami juga memberikan edukasi kepada peternak agar selalu memperhatikan kebersihan kandang dan pakan,” ujar Koat.

Sebagai peternak tentunya merasa khawatir dengan keadaan ini. Peternak hanya bisa mencegah ASF dengan beberapa langkah, seperti yang diungkapkan I Made Tangkas. “Saya hanya bisa sekuat tenaga mencegah agar ASF tidak menyerang babi saya. Kadang saya setiap hari disemprot desinfektan, saya benar-benar menjaga kebersihan kandang saya. Pakan juga saya pastikan bersih dari parasit seperti ulat ataupun lalat, dan tidak memberikan pakan sisa,” katanya. “Gara-gara grubug ini banyak teman-teman saya rugi. Ruginya bukan puluhan juta, bahkan bisa mencapai ratusan juta. Babi yang harusnya siap dipanen, harus mati dengan jumlah yang besar,” ucap Tangkas menambahkan.

Menimbulkan kerugian yang sangat besar, kini para peternak memilih untuk beristirahat dan tidak berani membeli bibit babi darimanapun. Ditambah lagi daya beli masyarakat juga rendah, mengakibatkan murahnya harga babi per kilonya. Di samping itu, pelaksanaan yadnya di Bali juga dibatasi diakibatkan pandemi Covid-19, yang mengakitbakan penurunan penggunaan babi pada acara agama. Peternak hanya bisa pasrah sambil menunggu semua akan pulih seperti sedia kala, dengan harapan wabah ASF segera berlalu dan harga babi akan kembali seperti harga normal sebelumnya.

Penulis : Manik

Penyunting : Galuh