Benih Cinta Pejuang Kelestarian Satwa
Oleh: Syifa Syafira Oktaviani (Kacang)
(WD-2038759)

Perlindungan satwa yang masuk dalam kategori dilindungi diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, sehingga seseorang yang memiliki atau memperjualbelikan satwa secara illegal dapat terjerat kasus hukum. Namun, perdagangan ataupun pemeliharaan satwa yang dilindungi secara sembunyi-sembunyi masih sering ditemukan. Tindakan yang kemudian dilakukan adalah berupa penyitaan lalu penyerahan ke pusat penyelamatan satwa untuk di rehabilitasi agar mampu beradaptasi saat dilepasliarkan ke alam.
 Salah satu pusat penyelamatan satwa di Indonesia yang berada di Bali adalah ¬Bali Wildlife Rescue Centre yang berada di Dauh Peken, Tabanan, Bali. Tempat ini menampung berbagai spesies satwa langka hasil sitaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali maupun serahan masyarakat untuk di rehabilitasi. ¬Bali Wildlife Rescue Centre ini merupakan bagian dari Friends of the National Parks (FNPF) yaitu organisasi non profit yang bekerja melindungi satwa langka, memulihkan habitat, dan support komunitas. Dalam melakukan aksinya, ¬Bali Wildlife Rescue Centre dibantu oleh sejumlah donatur dan sangat terbuka untuk Volunteer.
 
Wildlife Rescue Centre, Tabanan, Bali )
Sumber: Dokumentasi Pribadi MTO Calon Anggota Divisi Konservasi Angkatan XXXVIII
Beberapa dukungan yang bisa dilakukan untuk Bali Wildlife Rescue Centre yaitu dengan menjadi volunteer atau sukarelawan dalam membantu memberikan makan dan membersihkan kandang satwa, bergabung dengan program asuh (foster program), donasi uang untuk kasus tertentu, serta donasi kebutuhan alat. Selain itu, ¬Bali Wildlife Rescue Centre juga terbuka untuk pengunjung di hari sabtu dan minggu.
 
                                             

( Bentuk dukungan yang bisa dilakukan di ¬Bali Wildlife Rescue Centre, Tabanan, Bali ) 
Sumber: Dokumentasi Pribadi MTO Calon Anggota Divisi Konservasi Angkatan XXXVIII
 Sebagian besar satwa yang berada di sini adalah kelompok Aves, disusul oleh primata, mamalia, dan reptil. Per bulan januari 2020 diketahui terdapat 71 satwa yang ada di Bali Wildlife Rescue Centre dan pada bulan ini telah berhasil me-release 6 ekor buaya muara (Crocodylus porosus), 2 ekor landak (Hystrix brachiyiura), 1 ekor cekakak sungai (Todirhampus chloris), 1 ekor elang ular bido (Spilornis cheela), dan 4 ekor Merak Jawa (Pavo muticus) dengan lokasi yang berbeda sesuai habitatnya. Me-release satwa juga tidak bisa dilakukan sembarangan karena ada banyak hal yang harus diperhatikan seperti surat izin, lokasi pelepasan, dan monitoring yang harus dilakukan setelah satwa di-release.
 
       


( Beberapa satwa yang ada di ¬Bali Wildlife Rescue Centre, Tabanan, Bali )
Sumber: Dokumentasi Pribadi MTO Calon Anggota Divisi Konservasi Angkatan XXXVIII
 Selain me-release satwa sesuai dengan habitatnya, Bali Wildlife Rescue Centre juga melakukan relokasi atau pemindahan tempat tinggal satwa. Salah satu upaya relokasi yang pernah dilakukan yaitu dengan merelokasi 6 ekor buaya muara (Crocodylus porosus) dari Bali Wildlife Rescue Centre dan 8 buaya muara (Crocodylus porosus) dari BKSDA Bali menuju Taman Nasional Way Kambas. Relokasi dilakukan atas kerja sama dengan Taman Nasional Way Kambas yang berada di Lampung. Buaya muara tersebut dipindahkan dengan menggunakan kandang buatan dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN) serta diangkut menggunakan 3 mobil truck besar. Upaya relokasi ini di bantu dan di dukung oleh beberapa organisasi seperti Humane Society International (HIS Australia), JAAN, Wildlife Aid Network (JAAN-Wildlife), FNPF, FNPF Nusa Penida, Bali Reptile Rescue, serta Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
 
         

( Relokasi buaya muara (Crocodylus porosus) di ¬Bali Wildlife Rescue Centre, Tabanan, Bali ) 
Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis

Aksi me-release dan merelokasi satwa merupakan bentuk keberhasilan Bali Wildlife Rescue Centre dalam merehabilitasi satwa-satwa tersebut. Namun, di balik itu semua, dalam melakukan aksinya Bali Wildlife Rescue Centre juga tak luput dari kendala-kendala yang dialami saat merehabilitasi satwa. Kendala tersebut bisa berasal dari keterbatasan alat dan sumber daya manusia maupun kasus-kasus satwa yang ditangani. Beberapa kasus satwa yang menjadi kendala biasanya berasal dari perubahan perilaku dan insting satwa karena pemeliharaan oleh pemilik satwa sebelumnya. Kasus ini banyak di temukan pada kendala penentuan pemberian makanan beberapa kelompok elang yang baru datang untuk direhabilitasi.
 
                                                                                               

(Elang bondol (Hiliastur indus) dan elang ular bido (Spilornis cheela) 
di Bali Wildlife Rescue Centre, Tabanan, Bali )
Sumber: Dokumentasi Instagram @baliwildliferescuecentre

Pada banyak kasus, keeper dan dokter hewan yang bertugas di Bali Wildlife Rescue Centre sempat kebingungan dalam memberikan makanan untuk elang yang baru direhabilitasi. Elang-elang tersebut biasanya hanya akan memakan makanan yang biasa diberikan oleh pemilik mereka sebelumnya. Saat keeper yang bertugas memberikan makanan yang tidak sesuai dengan makanan mereka pada biasanya, elang-elang tersebut tidak akan mau makan. Upaya mengenali makanan mereka sebelumnya dilakukan pihak Bali Wildlife Rescue Centre dengan memberikan jenis makanan yang bertahap.

Makanan bertahap yang akan diberikan pertama kali adalah makanan utama sesuai dengan diet di habitatnya (misalnya ikan untuk elang yang biasa memakan ikan di habitatnya, seperti elang bondol (Hiliastur indus) ). Jika elang tersebut tidak mau memakan makanan yang telah diberikan, elang akan diberikan daging. Elang yang sebelumnya dipelihara biasanya akan lebih memilih memakan daging, hal ini berkaitan dengan pola makan yang diberikan oleh pemilik sebelumnya. Namun, dibeberapa kasus sempat ditemukan elang yang masih tidak mau memakan daging. Pihak Bali Wildlife Rescue Centre pun memutar otak dan mengakalinya dengan mencacah daging tersebut. Setelah diberikan ternyata elang tersebut baru mau makan.

Memelihara satwa liar atau satwa eksotis, sekalipun secara legal akan mempengaruhi perilaku dan insting satwa yang dipelihara. Satwa-satwa tersebut akan kehilangan insting alaminya serta kesulitan beradaptasi di alam jika dilepasliarkan sehingga akan terus bergantung pada manusia. Pemilik satwa juga kebanyakan tidak memiliki pengetahuan dalam memelihara satwa. Sayangnya, trend memelihara satwa ini banyak diminati masyarakat dan merambah pada trend memelihara satwa-satwa yang di lindungi.
Salah satu trend memelihara satwa dilindungi yang sempat marak adalah trend memelihara bayi lutung jawa (Trachypithecus auratus). Kasus ini pernah ditangani oleh Bali Wildlife Rescue Centre, di mana pihak BKSDA Bali membawa lutung jawa betina ke Bali Wildlife Rescue Centre untuk mendapatkan penanganan intensif setelah menemukannya tergeletak di Taman Nasional Bali Barat dengan luka tembak di bahu. Selain luka tembak yang dirasakan, lutung jawa ini juga kehilangan anaknya karena diambil oleh pemburu. Para pemburu yang memburu bayi lutung jawa untuk diperjualbelikan ini menembak induk dari bayi lutung jawa, karena induk dari bayi lutung jawa tidak akan melepaskan bayi mereka sehingga untuk mendapatkan bayinya induk harus di bunuh.

Bali Wildlife Rescue Centre melakukan penanganan intensif sebaik mungkin terutama pada bagian tembak di bahu lutung jawa betina ini. Lutung jawa ini juga mengalami kerusakan pada bagian mata. Selama beberapa hari berada di perawatan Bali Wildlife Rescue Centre, lutung jawa ini masih terlihat depresi serta kesulitan makan sehingga harus diberi makan dengan makanan cair melalui spuit. Selain itu, lutung jawa ini juga diberikan popok guna mempermudah buang air. Beberapa hari kemudian lutung jawa ini pun menunjukan sedikit demi sedikit progress yang baik. Perlahan-lahan lutung jawa ini sudah bisa makan sendiri. Namun sayangnya, tidak lama kondisi tubuh lutung jawa ini pun menurun karena depresi yang dialami, sehingga tidak dapat bertahan lagi dan mati.


Rehabilitasi lutung jawa (Trachypithecus auratus) di ¬Bali Wildlife Rescue Centre, Tabanan, Bali )
Sumber: Dokumentasi Instagram @baliwildliferescuecentre

Melalui berbagai aksinya, Bali Wildlife Rescue Centre menjadi salah satu gambaran dari sosok pejuang kelestarian satwa. Diantara maraknya kasus perburuan dan perdagangan satwa ilegal yang terus-menerus ditemukan, serta laju degradasi hutan yang semakin pesat sehingga memepersempit habitat satwa, Bali Wildlife Rescue Centre masih tetap tegak berdiri memperjuangkan hak hidup satwa. Seluruh tenaga, pikiran, dan materi yang mereka luangkan menjadi bentuk dari benih cinta yang mereka tanamkan agar kelestarian satwa tetap terjaga. Kesadaran akan peran penting satwa liar dalam memelihara ekosistem menjadi acuan yang terus membangkitkan semangat konservasi mereka
.
Upaya yang dilakukan untuk terus menjaga dan melestarikan satwa terutama yang berada pada ambang kepunahan bukanlah perkara yang mudah. Perlu adanya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkannya. Pentingnya kesadaran mengenai satwa langka sebagai milik negara dan masyarakat memiliki tanggung jawab dalam menjaga, harus terus ditanamkan dalam diri. Sebagaimana Bali Wildlife Rescue Centre ini, yang berjuang dalam melakukan konservasi satwa. Harapan mereka tidak lebih daripada kelestarian satwa, agar terus ada sepanjang masa.