Tepat pada awal Juni lalu New Normal atau kelaziman baru dilaksanakan di sebagian besar wilayah Indonesia. Pemerintah dengan teguh tetap melakukan kelaziman baru dengan alasan utama memperbaiki ekonomi Indonesia yang semakin lesu. Mengutip perkataan Presiden Republik Indonesia (9/7/2020), dalam sebuah artikel Detik.com yang berjudul “Krismon 1998 dan Virus Corona di Mata Jokowi, Lebih Ngeri Mana?”, Jokowi menjabarkan “Karena kalau ekonomi tidak jalan, kesejahteraan masyarakat menurun, imunitas juga akan ikut turun, penyakit gampang masuk. Oleh sebab itu betul-betul gas dan remnya ini betul-betul dikendalikan bener. Jangan sampai yang digas ekonomi saja tapi COVID-nya meningkat. Hati-hati, dua-duanya harus dikendalikan dengan baik,”

Motif pemerintah enggan menerapkan sistem lockdown seperti negara-negara lain, namun melakukan PSSB dikarenakan aktivitas ekonomi masyarakat (Alasan Pemerintah Tak Terapkan Lockdown Terkait Covid-19, liputan6.com). Saat PSBB berlangsung di berbagai wilayah Indonesia, pemerintah malah gencar membahas mekanisme New Normal untuk mendukung ekonomi masyarakat yang semakin merosot tiap harinya. Pro dan kontra mengalir deras kepada pemerintah akibat wacana New Normal. Sepertinya pemerintah telah mendengar banyaknya kritik tentang New Normal, mulai dari reproduction rate (RO) Indonesia yang belum memenuhi standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk melakukan New Normal, sosialisasi cara hidup bersih dan sehat masyarakat Indonesia belum merata, sosialisasi New Normal yang membutuhkan waktu tidak sebentar, vaksin Covid-19 yang belum ditemukan, serta kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan di berbagai wilayah masih terbilang rendah. Namun tetap saja, pemerintah kekeuh melakukan New Normal atau kelaziman normal tersebut. Apakah pemerintah salah? Tidak juga. Pemerintah bak ingin membuat sebuah jembatan (New Normal) agar ekonomi dan kesehatan dapat berjalan beriringan.  Sangat disayangkan material untuk membangun “jembatan” tersebut belum cukup kuat dan malah membuat kenormalan-kenormalan sebelumnya memburuk.

Bali merupakan salah satu provinsi terdampak pandemi Covid-19. Pada 31 Juli 2020 pemerintahan Bali sepakat membuka pariwisata untuk wisata domestik. Sejak saat itu kehidupan sosial ekonomi di Bali berangsur-angsur terlihat seperti normal. Banyak kendaraan mulai memadati jalanan, khususnya Denpasar sebagai pusat ekonomi di Bali. Berbagai aktivitas ekonomi mulai berjalan seperti semula dengan berbagai peraturan misalnya, aktivitas ekonomi apapun seperti membuka warung hanya sampai pukul 21.00 WITA. Awal pelaksanaan New Normal di Denpasar terbilang dijaga ketat oleh pecalang-pecalang setempat. Pecalang-pecalang di beberapa daerah, misalnya daerah Panjer, Denpasar, melakukan sidak terhadap warung-warung makan setiap malam untuk memastikan pelaku ekonomi segera menyelesaikan aktivitasnya sampai waktu yang telah ditentukan. Banner besar tata cara hidup sehat serta anjuran physical distancing serta menggunakan masker beredar di mana-mana. Mengejutkannya, beberapa bulan kemudian penjagaan ketat yang dilakukan pada awal New Normal malah semakin melonggar. Padahal, intensitas masyarakat yang berada di luar rumah cukup tinggi.

Dilansir dari Kompas.com dalam artikelnya yang berjudul “Daftar Zona Merah Covid-19 di Indonesia, Bali Terbanyak dengan 8 Kabupaten/Kota” terpampang nyata dan jelas bahwa kondisi kesehatan di Bali menurun. Wacana membuka pariwisata untuk wisatawan macanegara pada 11 September 2020 juga ikut ditunda. Alih-alih menyelamatkan ekonomi di Bali, daftar pertumbuhan ekonomi menurut provinsi triwullan II-2020 menerangkan hal yang sangat kontras. Pertumbuhan ekonomi di Bali mencapai -10,98% (BPS, 2020). Hal ini menunjukkan perekonomian di Bali semakin menurun yang malah berbanding terbalik dengan jumlah kasus Covid-19 yang semakin meninggi. Tercatat sampai tanggal 10 Sepetmber 2020, jumlah masyarakat positif Covid-19 bertambah 111 orang, meninggal bertambah 14 orang, sedangkan sembuh 115 orang.

Banyak tenaga medis gugur di lapangan. Fasilitas rumah sakit yang kurang memadai, serta masyarakat bandel yang tidak suportif mewarnai “jembatan” yang telah dibuat pemerintah. Sampai (10/9/2020) kasus Covid-19 di Indonesia mencapai angka 207.203. Angka yang fantastis, bukan? Kesiapan pemerintah dan masyarakat untuk melakukan New Normal dapat disebut sangat kurang, sehingga hasil yang didapatkan juga jelas tidak memuaskan banyak pihak. Memang sulit untuk membuat keputusan yang memuaskan banyak, belum lagi masih banyak masyarakat yang kurang partisipatif untuk menyelamatkan hidupnya sendiri. Namun, pemerintah memiliki andil besar, kuasa yang besar untuk mencegah, mengawasi, serta melindungi masyarakatnya.

Sejak awal, pemerintah bersikap suam-suam kuku. Fokus pemerintah dalam menangani pandemi ini seolah-olah buram. Tidak mau lock down karena ekonomi, melakukan New Normal untuk ekonomi. Seakan-akan Indonesia ini dipandang hanya dari segi ekonomi saja. Usaha menyelamatkan ekonomi memang sangatlah penting. Namun, hal itu harus ditempuh dengan menyelamatkan terlebih dahulu kesehatan masyarakatnya. Ekonomi maju adalah hasil dari masyarakat sehat yang bekerja keras membangun ekonomi itu sendiri.

Ledakan kasus yang semakin meluas dampaknya membuat keadaan semakin hari keadaan semakin tidak pasti. Namun masih ada harapan, jika semua elemen masyarakat saling bekerjasama untuk pulih, maka bukan hal mustahil tingkat Covid-19 di Bali bahkan seluruh wilayah Indonesia akan menurun. Sebuah keputusan yang nantinya akan dikeluarkan oleh pemerintah harus dilakukan dengan penuh komitmen dan konsistensi oleh para pembuatnya maupun masyarakat yang dituju. Pola pikir peraturan dibuat untuk dilanggar bukan hal benar untuk dilakukan khususnya pada saat pandemi. Mari berbenah, bukan berbantah. Mari saling mejaga, bukan sengaja mendakwa. Mari berjuang membangun ekonomi yang kian ambruk seraya melawan kesehatan yang kian tersuruk.

 

Penulis: Vilia

Penyunting: Yuko