Banyak orang mengatakan bahwa pada hari raya saraswati tidak boleh membaca, menulis dan melakukan hal yang berkaitan dengan belajar dan tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa pada hari raya saraswati tidak boleh belajar sampai buku selesai di upakarai. Beberapa orang juga beranggapan bahwa tidak boleh menyentuh buku saat hari raya saraswati karena dapat mengganggu Sang Hyang Aji Saraswati. Faktanya, budaya ini masih berkembang hingga saat ini, lalu benarkah demikian? 
    Seperti yang kita ketahui, hari raya Saraswati merupakan hari dimana turunnya ilmu pengetahuan. Hari raya Saraswati diperingati setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari sabtu Saniscara Umanis Wuku Watugunung yang mana kita sebagai umat hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam menifestasinya sebagai Dewi Saraswati yang merupakan simbol kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam ilmu pengetahuan. 
    Pada hari saraswati Ilmu pengetahuan tertinggi, Weda diturunkan pada hari itu dan buku-buku serta kitab suci di upakarai agar dapat bermanfaat. Menurut keterangan yang terdapat pada lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis seperti biasanya. Bahkan di malam hari dianjurkan untuk melakukan malam sastra dan sambang Samadhi. Dewi Saraswati menurunkan ilmu pengetahuan untuk dipelajari, maka dari itu tentunya buku akan lebih bermanfaat karena telah dianugrahi. 
    Di dalam Parasara Dharmasastra disebutkan bahwa ayat-ayat suci atau petunjuk-petunjuk suci tidak boleh ditafsir dengan logika, harus ada penjelasan dari sang Sadhu (orang suci) atau dalam ilmu modern oleh ahlinya. Di dalam Weda disebutkan bahwa Weda itu ada didalam pikiran, di dalam pikiran orang Sadhu (orang suci lahir dan batin). Dalam hukum progresif juga tidak dibenarkan untuk menafsirkan hukum dengan logika sebab dapat berakibat fatal. 
Berdasarkan sloka Manawa Dharmasastra tersebut Hukum Adat atau tradisi suci diakui sebagai sumber hukum yang sah. Salah satu sumber hukum larangan membaca bersumberkan pada lontar Sundarigama: 
“sang hyang pustakam lingganing aksara, pinihayu, puja walian haturaken puspa wangi, kalingania amuja Sang Hyang Bayu, ika samana ika, sira tan wenang angreka aksara, tan wenang angucara weda, puja, mwang kidung kekawin, kawanangan laksanania ayoga ameneng”. 
Pada lontar tersebut dapat diartikan bahwa : dilarang menulis aksara, dilarang mengucapkan mantra weda dan ada yang menafsirkan dilarang membunuh/mematikan aksara. 
    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa larangan untuk membaca pada hari raya saraswati lebih tertuju kepada Pustaka Suci seperti kitab Catur Veda, kitab-kitab Brahmana, Upanishad-Upanishad, Weda Smerti; kitab-kitab Dharmasastra, Itihasa, Purana, Lontar-Lontar dan lainnya yang sejenis serta larangan menulis seperti menulis Devanagari, menulis Akasara Bali, Aksara Jawa yang berhubungan dengan Tuhan atau aksara-aksara Suci. 

sumber foto : linuxcmd.org